Halaman

Selasa, 12 Mei 2009

KREATIF ANAK

Cemoohan, Penghalang Anak Berpikir Kreatif

GURU dan orangtua mengharapkan si anak berpikir kreatif. Namun kenyataannya, hanya segelintir anak yang menampakkan kemampuan berpikir kreatif. Ketika guru memberi kesempatan anak untuk bertanya atau menanggapi suatu persoalan, misalnya, anak kurang punya keberanian untuk menyampaikan sesuatu yang ada pada pikirannya.

Jika kebetulan tampang guru seram, jangankan mengangkat tangan untuk bertanya, menatap wajah guru saja takut. Apakah mereka sudah mengerti atau belum terhadap materi pembelajaran yang disampaikan guru, sama-sama tidak ada jawaban dari anak.

Akibat sikap pasif itu, hasil pembelajaran anak pun belum maksimal bahkan kurang memenuhi standar minimal. Keluhan demi keluhan pihak guru muncul. Dalam situasi yang pasif, anaklah yang selalu dipersalahkan dengan tuduhan "kurang kreatif" atau "pemalas". Karena itulah guru BK (bimbingan dan konseling) dan wali kelas memanggil orangtua, mengatakan bahwa hasil belajar anak kurang.

Setelah saling tukar pendapat antara orangtua dan guru -- yang pendapatnya belum tentu benar, anak pun menjadi "tong sampah". Sering pula guru dan orangtua belum menemukan cara yang bisa diterima oleh anak. Melihat kondisi seperti itu, terjadilah semacam kesepakatan guru dan orangtua untuk "mengeroyok" si anak. Sebelumnya, anak memang jarang dilibatkan dalam memecahkan persoalan belajar mereka.

Kalau saja berpikir kreatif anak ditumbuhkembangkan sejak dini, tentu kondisinya akan berbeda. Apa itu berpikir kreatif? Sebagaimana dikatakan Elaine B. Johnson (2007), berpikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan pikiran-pikiran yang baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga.

Menurut Elaine, berpikir kreatif membutuhkan ketekunan disiplin diri, dan perhatikan penuh. Aktivitas mental yang termasuk di dalamnya adalah mengajukan pertanyaan (rasa ingin tahu), mempertimbangkan informasi baru, membangyun keterkaitan di antara hal yang berbeda, menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas, menerapkan imajinasi untuk menghasilkan hal yang baru dan mendengarkan intuisi. Oleh karena berpikir kreatif melibatkan rasa ingin tahu, Elaine menyarankan guru agar mendorong siswa untuk berpikir mengapa sesuatu itu terjadi.

Kurang Sejalan

Dalam menumbuhkembangkan berpikir kreatif, apresiasi guru (sekolah), orangtua, dan masyarakat sering kurang sejalan. Seperti yang dikatakan Elaine, masyarakat pada umumnya menganggap kreativitas adalah pembawaan dari lahir, sesuatu yang tidak dapat dipelajari, sekolah-sekolah tidak memiliki peraturan yang mendorong siswa untuk mengembangkan kekuatan kreatif mereka. Yang ada justru sekolah atau lembaga pendidikan sering menjadi penghalang kreativitas.

Sekolah tidak hanya cenderung menjadikan kreativitas sebagai ciri khusus dari segelintir siswa yang unggul, melainkan juga telah dengan ketat menetapkan apa yang disebut karya kreatif. Ide-ide nyeleneh dicemooh. Mestinya, semua ide dihormati, termasuk yang nyeleneh. Yang lebih buruk lagi, anak yang punya ide nyeleneh itu dihukum. Setara dengan hukuman, keotoriteran guru juga merupakan penghalang dalam menumbuhkembangkan berpikir kreatif. Banyak guru masih menganut paham "anak yang baik adalah anak yang selalu manut, setuju saja apa kata gurunya". Intinya, anak yang baik tidak pernah membantah apa kata gurunya.

Ada satu contoh, mungkin dianggap sepele oleh seorang guru panitia pelaksana ujian SMA -- pada pelaksanaan ujian tahun 2007 ini. "Anak-anak, nanti ujian tulis mata pelajaran Penjaskes ditiadakan, sesuai surat edaran pemerintah," kata si guru, panitia pelaksana ujian. "Pak, majukan saja mata ujian hari terakhir ke waktu Penjaskes agar selesainya ujian lebih cepat!" usul para siswa. Ternyata reaksi guru yang menjadi panitia ujian, "Bapak yang berkuasa dalam menentukan waktu ujian, bukan kalian!" Mendengar kata-kata guru seperti itu, siswa hanya mampu menyuarakan "wuuu...." yang panjang secara serentak.

Contoh lain dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah, seorang anak menyampaikan sejumlah informasi yang didapatnya dari internet berkaitan dengan materi pelajaran. "Itu tidak betul!" kata guru dengan berupaya menjaga wibawa dirinya sendiri. Kreativitas anak dilenyapkan begitu saja tanpa mempertimbangkan sisi pedagogi.

Kondisi seperti dua contoh tersebut bukan saja berdampak kurang baik pada anak yang telah menunjukkan berpikir kreatif, juga kepada anak-anak yang lain. Cara komunikasi guru seperti itu akan mematikan berpikir kreatif anak, baik yang akan tumbuh maupun sedang berkembang. Sangat disayangkan pula pihak guru tidak menghendaki adanya dialog atau sedikit diskusi dengan anak untuk mencari titik temu. Proses berpikir kreatif pada anak dicemooh begitu saja demi wibawa guru (?). Yang kreatif saja dicemooh, apalagi si anak itu kritis.

Kreatif dan Kritis

Berpikir kreatif dan kritis bagaikan sisi mata uang sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Elaine. Elaine pun mengandaikan, pikiran kreatif merancang kostum untuk digunakan dalam pementasan sandiwara sekolah. Selanjutnya, pikiran kritis memastikan kainnya cocok dan jahitannya kuat.

Ditegaskan Elaine, seluruh manusia adalah pemikir kreatif dan kritis. Tegasnya, kemampuan berpikir kreatif dan kritis bukan milik anak tertentu saja. Saat anak memperbaiki, menggunakan, dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan keduanya, mereka meningkatkan kesempatan untuk memperkaya -- tidak hanya kehidupan mereka sendiri, melainkan juga -- kehidupan masyarakat dan sebagai anggota dari ekosistem bumi.

Untuk mencapai semua itu, Elaine mengusulkan kepada guru untuk menggunakan sistem pembelajaran kontekstual. Pendidikan berarti belajar menggunakan pikiran dengan baik, bukan jejalan hapalan.

Mengingat berpikir kreatif dan berpikir kritis bisa dilatihkan, maka guru (sekolah) perlu mencari upaya agar keduanya bisa terwujud, walau tidak mudah. Dari mana memulai? Dalam dunia pendidikan (sekolah) tentulah memulainya dari pihak guru. Sedangkan di rumah pastilah memulainya dari orangtua -- guru rupaka. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu peran pemerintah sangat penting lewat sistem pendidikan dan menyediakan anggaran yang cukup.

Janganlah anak dibesarkan dengan cemoohan jika mengharapkan mereka menjadi anak yang kreatif dan kritis. Kata Dorothy Nolte, "Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika ia dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri..."

Membangun Manusia Berfikir kreatif Laporan: Mulyono

MUNGKIN di antara kita ada yang belum mengetahui, apa sebenarnya yang dimaksud dengan berpikir kreatif itu ? Banyak para ahli yang mendefinisikan berpikir kreatif itu berbeda-beda. Ada yang me-ngatakan bahwa berpikir kreatif adalah mene-mukan cara-cara baru untuk mengerjakan apa saja dengan lebih baik dan lebih mudah. Bila da-lam sebuah keluarga yang mengubah rumahnya yang kurang menarik menjadi rumah yang lebih indah dipandang dan diatur sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya tarik, maka orang tersebut bisa dikatakan mempunyai kreativitas dan berpikir kreatif. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974), mendefinisikan bahwa berpikir kreatif adalah merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru, dalam bentuk konsep, penemuan maupun karya seni. Salah satu cara untuk mengembangkan dan menguatkan kemampuan kita untuk berpikir kreatif adalah percaya bahwa sesuatu itu dapat dilakukan. Untuk melakukan sesuatu, pertama-tama adalah kita percaya bahwa kita bisa melakukannya. Sehingga akan muncul adanya suatu dorongan untuk menggerakkan pikiran kita untuk mencari dan melaksanakan sesuatu yang kita inginkan.

Pembangunan Manusia Indonesia

Seperti yang terjadi sekarang ini, dari data yang dilansir UNDP 2006, bahwa Indek Pembangunan Manusia Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Human Development lndex (HDI) masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, dan Indonesia menduduki peringkat 108 dari 177 negara. Ini artinya HDI Indonesia masih relatif kecil danjauh dibanding-kan dengan negara-negara, seperti Malaysia, Filipina, Thailand maupun Singapore. Walaupun terjadi kenaikan di tahun-tahun terakhir, tetapi tidak terlalu tinggi, sehingga ada kecenderungan stagnan. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik2006, terlihat hampir seluruhnya provinsi Indonesia prosentase kenaikan nilai mutu manusianya tidak terlalu menggembirakan, bahkan ada provinsi-provinsi cenderung mengalami penurunan di tahun-tahun belakangan ini.

Propinsi Sulawesi Utara mencatat sejarah baru dalampeningkatan nilai HDI di Indonesia. Kalau sebelumnya tahun 1999 provinsi ini tercatat dalam ranking ke 6, dari data 2006 provinsi ini melompat dalam kecepatan yang cukup tinggi dan berhasil melampaui provinsi-provinsi lain, sehingga dapat menduduki ranking teratas yaitu pada urutan ke 2 di bawah DKI Jakarta. Propinsi Sumatera Selatan tidak mau ketinggalan, provinsi ini juga berhasil melompat dari ranking ke 16 menjadi ranking ke 13. Untuk mencapai peningkatan nilai HDI ini diperlukan upaya kerja keras dan terfokus dari semua pihak, baik itu pemerintah daerah, LSM maupun masyarakat luas. Pemerintah tidak akan mungkin berjuang sendiri dalam rangka mendorong kenaikan HDI ini, harus bersama-sama dengan semua pihak termasuk kalangan perguruan tinggi.

Titik pangkal dari permasalahan Pembangunan Manusia adalah pada masalah Pendidikan, Kesehatan dan Kewirausahaan. Bila ketiga permasalahan pokok ini bisa ditangani dengan baik dan terfokus, maka nilai Pembangunan Manusia akan meningkat dengan sangat signifikan.

Pikir Kreatif

Faktor kemiskinan masih menjadi perbin-cangan hangat dan belum terlihat adanya upaya bagaimana mengatasinya dan implementasinya di daerah. Pemerintah dan berbagai LSM serta para ahli yang bepikir kreatif telah mencoba me-mecahkan persoalan bangsa dalam menaikkan nilai pembangunan manusianya melalui berbagai macam seminar maupun diskusi-diskusi ilmiah, namun hasilnya belum memuaskan. Yang penting sebenarnya bukan seminar dan diskusi tetapi bagaimana implementasinya dan hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat.

Kalau kita semua mempunyai goodwill dan percaya kita bisa lakukan, seperti yang pernah dikatakan David J. Schwartz, Ph.D dalam buku-nya The Magic of Thinking Big, maka masalah berat apapunbisa diselesaikan. Akhir tahun lalu, pemerintah telah mengadakan kongres Pem-bangunan Manusia Indonesia, dan menghadir-kan para pembicara yang terdiri dari Gubernur dari berbagai provinsi di Indonesia untuk me-nyampaikan gagasan dan programnya, bagaima-na konsep membangun Pembangunan Manusia di wilayahnya dan implementasinya. Dari provinsi yang paling tinggi nilai HDI-nya sampai dengan terendah. Dari berbagai uraian terlihat bahwa cara menangani permasalahan pemba-ngunan manusia ternyata sangatbervariatif dan berbeda satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Bukan Membangun Sekolah Unggulan

Menurut Prof Dr Haryono Suyono, mantan Menko Kesra dan Taskin, bahwa titik pangkal dari permasalahan Pembangunan Manusia adalah pada masalah Pendidikan, Kesehatan dan Kewirausahaan. Bila ketiga permasalahan pokok ini bisa ditangani dengan baik dan terfokus, maka nilai Pembangunan Manusia akan meningkat dengan sangat signifikan. Pembangunan manusia bukan hanya diselesaikan dalam bentuk seminar ataupun kongres, tetapi lebih dari itu perlu adanya komitmen yang tinggi, mulai dari presiden, gubernur, bupati/walikota seluruh Indonesia. Dalam memberikan solusi dan mengatasi kemiskinan, ia menghimbau kepada seluruh gubernur, bupati/ walikota agar membentuk suatu wadah atau forum silaturahmi seperti Posdaya. Forum ini bisa dipergunakan acuan dari semua kekuatan pembangunan di daerah untuk mempertajam dalam masalah penanganan pengentasan kemiskinan di negeri tercinta ini.


Keberhasilan program pendidikan dalam HDI antara lain diukur dari lamanya penduduk itu sekolah, dan anakusia sekolah semuanya sekolah, bukan membuat sekolah unggul dan sekolah favorit seperti dibanggakan oleh banyak pimpinan daerah dalam program peningkatan bidang pendidikan di wilayahnya. Bidang kesehatan dapat diukur dari panjangnya usia harapan hidup penduduknya, dan bidang kewirausahaan dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan terutama dalam melakukan kegiatan usaha, apapun usaha yang dijalannya, khususnya bagi para ibu dan wanitanya, yang terpenting adalah semua orang harus bekerja.

Masih banyak para pemimpin kita berpikiran sempit dalam melaksanakan program pembangunan manusia dalam bidang pendidikan ini. Ada yang dengan bangga menonjolkan pembangunan fisik sarana dan prasarana sekolah dan menciptakan sekolah unggul di daerahnya, tetapi akses untuk mendapatkan pendidikan anak dari keluarga mampu atau keluarga miskin di sekitar sekolah pun terabaikan. Tidak sedikit anak usia sekolah tidak sekolah, sehingga secara keseluruhan nilai pembangunan manusia di daerahnya tidak mengalami kenaikan bahkan terkesan mandeg. Anak-anak keluarga miskin tetap saja tidak mendapatkan akses pendidikan, meskipun mereka tinggal di dekat sekolah unggulan. Tidak sedikit para pimpinan daerah menyak-sikan ada anak usia sekolah yang tidak sekolah di sekitar tempat tinggalnya, tetapi mereka ini tidak mempedulikannya. Belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong mereka supaya anak-anak ini bisa sekolah. Cara berpikir seperti ini menunjukkan ketidak pekaan terhadap sesama anak bangsa dan lingkungannya, dan boleh dibilang tidak berpikir kreatif dalam ikut meningkatkan HDI di wilayahnya.

Bagi para pengambil keputusan, bila mereka ini percaya pada sesuatu yang tidak mungkin, maka pikiran mereka akan bekerja untuk membuktikan mengapa hal itu tidak mungkin, akan tetapi bila mereka itu percaya dan benar-benar percaya bahwa sesuatu itu dapat dilakukan, maka pikiran mereka akan membantu mencari jalan untuk melakukannya. Nah, untuk itu bila kita semua mempunyai keyakinan dan percaya kita akan bisa meningkatkan HDI, maka kita harus yakin pula, bersama segenap komponen bangsa kita akan lakukan yang terbaik bagi peningkatan mutu pembangunan manusia Indonesia ke arah yang lebih baik dengan lebih terfokus. Semoga

Jumat, 2008 Oktober 03

Mengatasi Masalah dengan Berpikir Kreatif

Pada dasarnya semua manusia pernah mengalami suatu masalah. Masalah satu selesai muncul masalah-masalah lain. Pastinya masalah itu memang harus ada atau malah diadakan untuk mendewasakan manusia atau menjadikan manusia berpikir lebih dewasa. Masalah mempunyai suatu kadar kesulitan yang sesuai dengan tingkat kemampuan manusia untuk menanggungnya. Hal tersebut tidak bisa kita analisis secara logis.

Masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita olah di dalam otak untuk mencari jalan keluar terbaik. Otak sendiri disini dibagi menjadi belahan, kiri dan kanan yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca, bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda dan harus tumbuh dalam keseimbangan.

Dalam proses menuangkan pikiran, manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal, dengan harapan bahwa akan lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi di kemudian hari. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini memiliki kecenderungan untuk memilih keterampilan-keterampilan “otak kiri” yaitu matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif.

Sebenarnya, anak-anak dapat menuangkan pikiran dengan caranya masing-masing. Proses menuangkan pikiran menjadi tidak beraturan atau malah tersendat ketika anak-anak terjebak dalam model menuangkan pikiran yang kurang efektif sehingga kreativitas tidak muncul. Model dikte dan mencatat semua yang didiktekan pendidik, mendengar ceramah dan mengingat isinya, menghafal kata-kata penting dan artinya terjadi dalam proses belajar dan mengajar di sekolah atau di mana saja menjadi kurang efektif ketika tidak didukung oleh kreativitas pendidik atau anak itu sendiri.

Masalah-masalah lain muncul ketika anak berusaha mengingat kembali apa yang sudah didapatkan, dipelajari, direkam, dicatat atau yang dahulu pernah diingat. Beberapa anak mengalami kesulitan berkonsentrasi, atau ketika mengerjakan tugas. Ini terjadi dikarenakan catatan ataupun ingatannya belum teratur. Untuk itu dibutuhkan suatu alat untuk membantu otak berpikir secara teratur.

Toni Buzan menemukan suatu alat berpikir yang berdasarkan cara kerja alamiah otak, alat yang sederhana, yang benar-benar mencerminkan kreativitas dan kecemerlangan alamiah dalam proses berpikir, yaitu dengan peta pikiran (mind map).Peta pikiran adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak, yang merupakan cara mencatat yang kreatif dan efektif. Secara harfiah peta pikiran akan “memetakan” pikiran-pikiran.

Peta pikiran memberikan banyak manfaat. Peta pikiran, memberi pandangan menyeluruh pokok masalah atau area yang luas, memungkinkan kita merencanakan rute atau membuat pilihan-pilihan dan mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita berada. Keuntungan lain yaitu mengumpulkan sejumlah besar data di suatu tempat, mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan-jalan terobosan kreatif baru, merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk dipandang, dibaca, direnungkan dan diingat.

Untuk anak-anak, peta pikiran memiliki manfaat, yaitu : membantu dalam mengingat, mendapatkan ide, menghemat waktu, berkonsentrasi, mendapatkan nilai yang lebih bagus, mengatur pikiran dan hobi, media bermain, bersenang-senang dalam menuangkan imajinasi yang tentunya memunculkan kreativitas.

Minggu, 2008 Oktober 05

Belajar Kreatif

Peletakan dasar untuk pengembangan pikir dan kepribadian anak sangat ditentukan oleh proses pembelajaran yang diberikan oleh orang tua sejak anak-anak masih berusia pra sekolah 0 hingga 6 tahun. Pengalaman yang diterima oleh anak-anak melalui proses pembelajaran lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan kelompok bermain dan Taman Kanak-kanak merupakan hal yang penting dan menentukan bagi anak untuk pengembangan ke depan. Pertumbuhan sikap dan sifat anak akan tergantung pada apa yang dilihat, diperoleh, dan diajarkan oleh orang lain kepada anak karena semua itu menjadikan sumber pengetahuan dan pengalaman yang akan dilakukan oleh anak.

Pengalaman anak yang dibesarkan di lingkungan kota akan berbeda dengan anak yang dibesarkan di desa. Pengalaman inilah yang kemudian secara alami akan berproses dalam diri anak yang kemudian akan diwujudkan dalam perilaku kehidupannya. Menurut dan meniru apa yang diperintahkan dan dilakukan orang lain itulah yang akan dilakukan oleh anak.

Setiap anak yang dilahirkan di muka bumi ini memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda. Perbedaan kecerdasan inilah yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Menurut Gardner (1998) ada 8 jenis kecerdasan yaitu: kecerdasan bahasa, kecerdasan matematika, kecerdasan musik, kecerdasan kinestik, kecerdasan visual, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Dari 8 tingkat kecerdasan tersebut setiap anak paling tidak mempunyai 2 kecerdasan dalam dirinya.

Proses pembelajaran bagi anak dengan model anak harus mengerjakan sesuatu yang tidak disukai menjadikan anak malas dan mengerjakan dengan sesukanya karena tidak sesuai dengan keinginannya. Pengalaman tersebut akan menghambat pengembangan kecerdasan anak. Ketika mengerjakan sesuatu sementara anak tidak senang dengan apa yang harus dikerjakan menjadikan anak bekerja hanya sekedar menuruti perintah tanpa melihat hasil pekerjaannya.

Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran yang diterapkan bagi anak, atau lebih dikenal dengan nama PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) perlu pengamatan yang teliti terhadap kemampuan yang dimiliki anak. Dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh anak maka proses pembelajaran akan berhasil dan kemampuan anak dapat berkembang dengan baik.

Proses pembelajaran PAUD bukanlah proses belajar mengajar seperti yang diselenggarakan di sekolah, namun lebih ditekankan sebagai tempat bermain, tempat dimana anak mulai mengenal orang lain, tempat untuk berkreasi dibawah asuhan dan bimbingan orang tua. Pengembangan kepribadian dan kecerdasan yang sebenarnya telah dimiliki oleh setiap anak merupakan tujuan utama dalam proses pembelajaran di PAUD.

Pengembangan kepribadian dan proses berpikir anak yang menjadi tujuan pembelajaran di PAUD diselenggarakan dengan cara memberikan kebebasan pada anak untuk memilih sendiri jenis mainan yang sesuai dengan kemampuannya. Untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak dapat dilakukan dengan cara mengamati pilihan anak ketika mereka disuruh memilih mainan. Dengan diberi kesempatan untuk memilih ini setiap anak akan menentukan pilihannya masing-masing. Ketika anak telah menemukan mainan kesukaannya maka ia akan menekuni permainannya, dan seringkali ketika sedang bermain mengabaikan yang lain. Pada saat anak bermain itulah dapat diamati bahwa anak memiliki kecerdasan tertentu.

Dalam pembelajaran di PAUD anak tidak dapat dipaksakan untuk mempelajari sesuatu yang bukan kemampuannya. Jika anak tidak suka menggambar maka ia akan malas dan mungkin akan menangis ketika dipaksakan untuk melakukan perintah gurunya. Anak akan menangis ketika disuruh menyanyi ketika anak itu tidak suka dengan menyanyi. Anak akan malas belajar ketika disuruh menghitung sementara ia tidak senang dengan menghitung, dan banyak contoh lainnya. Oleh sebab itu proses pembelajaran di PAUD harus benar-benar memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anak karena hal ini akan menentukan masa depannya.

Peletakan dasar kepribadian, pengembangan, dan pembentukan kepribadian anak tergantung pada awalnya ketika anak tersebut memperoleh pengalaman pertamanya dalam proses pembelajaran yang dialaminya. Proses pembelajaran kreatif dengan memberikan rangsangan belajar bagi anak sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya akan sangat menentukan masa depan anak.

Selain itu, proses belajar kreatif yang sangat tepat adalah model pembelajaran berbasis masalah. Sudah tidak model pembelajaran satu arah, guru menerangkan dan siswa mendengarkan. Model seperti itu hanya membuat kreativitas anak terbelenggu. Tidak ada tantangan maupun ketertarikan. Apalagi materi yang diajarkan sama persis dengan buku-buku yang mereka terima. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran (Ratnaningsih, 2003).

Masalah yang disajikan pada anak merupakan masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual). Pembelajaran berbasis masalah ini dirancang dengan tujuan untuk membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah. Pada pembelajaran berbasis masalah anak dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar, artinya anak dituntut pula untuk belajar secara kreatif. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada dilingkungannya.

Contoh simple saja: gelas itu digunakan untuk apa?

Jawaban pastinya adalah untuk minum, tapi dalam model pembelajaran berbasis masalah ini, si anak diharapkan memberi pilihan lain tentang manfaat gelas. Mungkin untuk menaruh pensil, untuk menaruh sikat dan pasta gigi, untuk menaruh tisu dan lain sebagainya. Dari hal kecil tersebut, si anak diajak untuk berpikir secara luas tidak terkungkung oleh pemikiran lama.

Sabtu, 2008 Oktober 04

Ide CahKreatif

Segala sesuatu yang baik memang harus diperkenalkan dan diperjuangkan. banyak sekali cara untuk menuju ke hal tersebut. Meski banyak rintangan dan tantangan, tapi itu semua tergantung niat. Kalo sudah bulat, kepalang basah, kecebur...nyebur sekalian, syukur bisa menyelam sambil minum air.... meski ide ini sudah lama terbentuk namun baru kali ini, saya pribadi bisa bener-bener konsentrasi untuk memikirkan segala sesuatu tentang kreativitas terutama kreativitas anak.

Banyak orang bilang, segala sesuatu di dunia ini membutuhkan modal dan modal... apalagi untuk berkarya dan berkreasi. aku tertawa tuh atas komentar-komentar seperti itu. Menurutku, mereka jadi hambanya kapitalisme, trus dunia ini kalo tidak ada modal terutama uang, dunia ini akan kiamat gitu atau malah lebih radikal aku menganggap bahwa mereka lebih menghargai uang daripada niat, ide dan kerja keras. Tidak Cuma sekali saya mencoba menjalin hubungan kerja sama dengan orang lain tapi mereka selalu berkilah terhalang oleh masalah finansial. Seketika itu juga dan tak usah ambil pusing, saya langsung memutuskan untuk tidak berpartner lagi dengan orang-orang tersebut. uang tak pernah kuanggap penting untuk setiap niat yang baik..karena niat yang baik itu gak bisa dibayar dengan uang.
Aku masih berpikir tidak ada sesuatu yang besar tanpa ada yang kecil terlebih dahulu..
Majulah CahKreatif...

Jumat, 2008 Oktober 03

Mengatasi Masalah dengan Berpikir Kreatif

Pada dasarnya semua manusia pernah mengalami suatu masalah. Masalah satu selesai muncul masalah-masalah lain. Pastinya masalah itu memang harus ada atau malah diadakan untuk mendewasakan manusia atau menjadikan manusia berpikir lebih dewasa. Masalah mempunyai suatu kadar kesulitan yang sesuai dengan tingkat kemampuan manusia untuk menanggungnya. Hal tersebut tidak bisa kita analisis secara logis.

Masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita olah di dalam otak untuk mencari jalan keluar terbaik. Otak sendiri disini dibagi menjadi belahan, kiri dan kanan yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca, bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda dan harus tumbuh dalam keseimbangan.

Dalam proses menuangkan pikiran, manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal, dengan harapan bahwa akan lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi di kemudian hari. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini memiliki kecenderungan untuk memilih keterampilan-keterampilan “otak kiri” yaitu matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif.

Sebenarnya, anak-anak dapat menuangkan pikiran dengan caranya masing-masing. Proses menuangkan pikiran menjadi tidak beraturan atau malah tersendat ketika anak-anak terjebak dalam model menuangkan pikiran yang kurang efektif sehingga kreativitas tidak muncul. Model dikte dan mencatat semua yang didiktekan pendidik, mendengar ceramah dan mengingat isinya, menghafal kata-kata penting dan artinya terjadi dalam proses belajar dan mengajar di sekolah atau di mana saja menjadi kurang efektif ketika tidak didukung oleh kreativitas pendidik atau anak itu sendiri.

Masalah-masalah lain muncul ketika anak berusaha mengingat kembali apa yang sudah didapatkan, dipelajari, direkam, dicatat atau yang dahulu pernah diingat. Beberapa anak mengalami kesulitan berkonsentrasi, atau ketika mengerjakan tugas. Ini terjadi dikarenakan catatan ataupun ingatannya belum teratur. Untuk itu dibutuhkan suatu alat untuk membantu otak berpikir secara teratur.

Toni Buzan menemukan suatu alat berpikir yang berdasarkan cara kerja alamiah otak, alat yang sederhana, yang benar-benar mencerminkan kreativitas dan kecemerlangan alamiah dalam proses berpikir, yaitu dengan peta pikiran (mind map).Peta pikiran adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak, yang merupakan cara mencatat yang kreatif dan efektif. Secara harfiah peta pikiran akan “memetakan” pikiran-pikiran.

Peta pikiran memberikan banyak manfaat. Peta pikiran, memberi pandangan menyeluruh pokok masalah atau area yang luas, memungkinkan kita merencanakan rute atau membuat pilihan-pilihan dan mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita berada. Keuntungan lain yaitu mengumpulkan sejumlah besar data di suatu tempat, mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan-jalan terobosan kreatif baru, merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk dipandang, dibaca, direnungkan dan diingat.

Untuk anak-anak, peta pikiran memiliki manfaat, yaitu : membantu dalam mengingat, mendapatkan ide, menghemat waktu, berkonsentrasi, mendapatkan nilai yang lebih bagus, mengatur pikiran dan hobi, media bermain, bersenang-senang dalam menuangkan imajinasi yang tentunya memunculkan kreativitas.

Anak Kreatif – Tukang Cari Masalah

Kita sering sekali lihat anak-anak yang sulit diatur, anak yang terlalu aktif, dan membuat sang orang tua seringkali melarang aktivitas mereka, jengkel, kemudian memarahi bahkan kadang suka main tangan alias menghukum sang anak atas ketidakpatuhan mereka terhadap orang tua. hal tersebut sudah tidak asing lagi tatkala model pendidikan dalam keluarga masih bersifat tradisional, anak harus patuh pada orang tua (sendiko dhawuh).

Namun dalam hal ini, apabila keluarga dan lingkungan mampu mendampingi dan membimbing anak-anak tersebut dengan model pendidikan yang berbasis pada masalah, bukan saja itu sebagai sarana bermain yang menyenangkan bagi anak tapi juga sekaligus merupakan media pembelajaran kreatif. Tak ada cara mendidik yang lebih bagus selain mempraktekkannya langsung di lingkungan anak-anak sendiri dan mengenai masalah-masalah yang dihadapi si anak sendiri.

Dalam ruang lingkup pembelajaran berbasis masalah, anak berperan sebagai seorang professional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal, anak tetap dituntut untuk menentukan solusi terbaik yang mungkin ada. Seumpama pembelajaran ini diterapkan di kelas, maka pembelajaran berbasis masalah akan membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran. Banyak sekali kejadian-kejadian yang nantinya berlangsung dalam proses pembelajaran berbasis masalah. Diantaranya yang harus muncul adalah keterlibatan anak, inkuiri dan investigasi, penyajian temuan dan Tanya jawab. Keterlibatan anak disini meliputi mempersiapkan anak untuk berperan sebagai pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk mampu menemukan masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukan dugaan dan rencana penyelesaian. Inkuiri dan investigasi mencakup kegiatan mengeksplorasi dan mendistribusikan informasi.

Dengan kejadian-kejadian yang muncul dalam proses pembelajaran berbasis masalah tersebut, akan membuat anak menjadi pembelajar yang mandiri dan kreatif, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu.